إِنَّفِي خَلْقِالسَّمَاوَاتِوَالأَرْضِوَاخْتِلاَفِاللَّيْلِوَالنَّهَارِلآيَاتٍلِّأُوْلِيالألْبَابِ
الَّذِينَيَذْكُرُونَاللّهَقِيَامًا
وَقُعُودًاوَعَلَىَجُنُوبِهِمْوَيَتَفَكَّرُونَفِي
خَلْقِالسَّمَاوَاتِوَالأَرْضِرَبَّنَامَاخَلَقْتَهَذا
بَاطِلاًسُبْحَانَكَفَقِنَاعَذَابَالنَّارِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi Ulil Albab. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka". (Ali Imran: 190-191)
Dalam kitab-kitab terjemah Al-Qur'an, kata Ulil Albab seringkali dimaknai dengan "orang-orang yang berakal atau berpikir", karena merujuk pada kalimat dalam ayat 191, "dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi". Kemudian banyak yang menafsirkan bahwa "orang-orang yang berpikir" tsb adalah para cendekiawan (pemikir; ilmuwan). Apakah setiap orang yang melakukan aktivitas berpikir seperti mereka otomatis tergolong Ulil Albab?
Belum tentu... bahkan kebanyakan tidak.
Dalam ayat 190 sudah dipaparkan dengan begitu jelas, bahwa definisi dari Ulil Albab adalah meliputi semua yang tertulis di bawah ini:
"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi."
Jadi sebelum melakukan aktivitas berpikir, seseorang akan dikatakan sebagai Ulil Albab jika ia telah mampu melaksanakan dzikir (mengingat Allah) dalam segala kondisi. Baik dalam keadaan berdiri, duduk, berbaring... dan bahkan pada saat sedang berpikir, dirinya tidak pernah terlepas dari dzikrullah. Tidak terkecuali ketika sedang melakukan aktivitas bekerja, berbicara, menulis, makan, minum, bercanda, berkendara, mandi, B.A.B, mencuci, memasak, berhubungan suami istri, menelepon, chatting, dst.
Hal ini sejalan dengan perintah Allah - dengan redaksi - berdzikirlah sebanyak-banyaknya... berdzikirlah sepanjang pagi dan petang (QS. 76: 25). Artinya, dirinya selalu dalam keadaan berdzikir (mengingat dan menghadap) kepada Allah di setiap waktu alias tanpa terputus. Bukan hanya berdzikir di waktu pagi dan di waktu petang saja. :)
Berdzikir tidak hanya sebatas membaca kalimat-kalimat suci semisal: Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar, La ilaha illallah, dsb. Namun segenap jiwa raganya harus dalam keadaan menghadap (khusyu') kepada Allah. Betapa banyak orang yang melakukan ibadah sholat, meskipun mulutnya komat-kamit membaca bacaan sholat, namun pikiran, hati, dan jiwanya tidak dzikrullah (tidak menghadap; tidak khusyu'). Padahal perintahnya ashsholatu lidzikriy... sholatlah kalian untuk mengingat-Ku!
Kalau orang yang sedang sholat saja bisa lalai dari mengingat Allah, lalu bagaimana dengan orang yang sedang bekerja, menulis, berbicara, atau sedang bermain??
Jadi jelas, bahwa terminologi Ulil Albab yang sesunggungnya bukan ditujukan kepada orang-orang yang hanya bisa berpikir, melainkan ditujukan kepada para Ahli Dzikir. Sejalan dengan firman Allah:
"Tanyakanlah pada Ahli Dzikir jika kamu tidak mengetahui!" (Al-Anbiya':7)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar